SIAPA yang tidak mengenal kawasan Kotagede? Sentra kerajinan perak itu telah menjadi brand image tersendiri bagi setiap wisatawan yang datang ke Yogyakarta.
Kawasan yang terletak sekitar 10 kilometer tenggara dari Kota Yogya itu menarik wisatawan, khususnya turis mancanegara, karena banyak perhiasan dan aksesoris perak yang ditawarkan di sana. Selain Kotagede, sebenarnya ada beberapa sentra kerajinan perak lain di Indonesia, seperti Bali dan Lombok.
Namun, kerajinan perak Kotagede memiliki ciri khas tersendiri, yakni tetap dipertahankannya proses pembuatan barang kerajinan secara manual. "Sejak dulu sampai sekarang keunggulan produk kami adalah pengerjaan secara manualnya," kata A Rifai Halim, seorang pengusaha perak di Kotagede.
Lokasi perajin perak di Kotagede tersebar merata, mulai dari Pasar Kotagede sampai Masjid Agung. Saat ini sekitar 60 toko yang menawarkan berbagai produk kerajinan perak. Sedikitnya ada empat jenis tipe produk yang dijual, yakni filigri (teksturnya berlubang-lubang), tatah ukir (teskturnya menonjol), casting (dibuat dari cetakan), dan jenis handmade (lebih banyak ketelitian tangan, seperti cincin dan kalung).
Untuk memperoleh sebuah bentuk, banyak proses yang harus dikerjakan seorang perajin. Yanto, perajin perak, menjelaskan, tahap paling awal adalah membuat desain, kemudian memindahkan desain itu ke cetakan.
Selanjutnya, lempengan kuningan atau tembaga sebagai bahan dasar didrik dengan memakai timah lunak. "Kalau sudah didrik baru dirangkai. Langkah terakhir adalah pelapisan bentuk yang sudah jadi dengan perak melalui proses penyepuhan."
Yanto menambahkan, sebagian bentuk memerlukan proses yang berbeda. Perak lempengan harus dipahat sedikit demi sedikit dengan lembaran aspal atau lilin atau kawat perak tipis, dan dirangkai sedemikian rupa untuk memperoleh bentuk yang dikehendaki. Kebanyakan ornamen kerajinan perak Kotagede sangat dipengaruhi oleh motif kain batik.
Penentuan harga barang kerajinan perak tidak hanya didasarkan pada besar-kecil atau beratnya, tetapi juga nilai seni dan tingkat kerumitan dalam pengerjaannya. MENURUT para pengusaha perak di Kotagede, kerajinan perak yang digeluti sebagian besar masyarakat wilayah itu bersifat turun-temurun. Awalnya, jumlah perajin hanya beberapa orang, karena usaha mereka hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan perhiasan atau perlengkapan lainnya bagi raja dan kerabat keraton.
Sebelum berkembang menjadi sentra kerajinan perak, Kotagede merupakan ibu kota Kerajaan Mataram yang pertama, dengan raja pertama Panembahan Senopati. Panembahan Senopati menerima kawasan yang waktu itu masih berupa hutan yang sering disebut Alas Mentaok dari Sultan Pajang, Raja Kerajaan Hindu di Jawa Timur. Kotagede menjadi ibu kota hingga tahun 1640, karena raja ketiga Mataram Islam, Sultan Agung, memindahkannya ke Desa Kerto, Plered, Bantul.
Menurut Rifai, keberadaan perajin perak muncul seiring dengan lahirnya Mataram. "Perpindahan ibu kota ke Plered itu ternyata tidak membuat para perajin ikut-ikutan pindah. Mereka yang biasanya melayani kebutuhan raja itu tetap mempertahankan usahanya dengan menjualnya ke masyarakat umum." Masa kejayaan Kotagede sebagai sentra industri perak terjadi pada era 1970-1980.
Saat itu, jenis barang didominasi oleh alat-alat makan untuk memenuhi permintaan turis asing. "Apalagi, saat itu belum banyak toko yang menjual produk kerajinan perak," kata Rifai. Menurut Sutojo, Ketua II Koperasi Produksi Pengusaha Perak Yogyakarta (KP3Y) keberadaan perajin perak di Kotagede juga tak luput dari peran Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang masuk ke Yogyakarta sekitar abad ke-16 silam.
Waktu itu, banyak pedagang VOC yang memesan alat-alat rumah tangga dari emas, perak, tembaga, dan kuningan ke penduduk setempat. "Berdasarkan data KP3Y tahun 2000, sedikitnya 2.000 orang terlibat langsung dalam mata rantai industri perak di Kotagede. Perajinnya pun tidak hanya dari masyarakat Kotagede, namun sudah meluas. Orang-orang dari Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul banyak datang dan bermukim di Kotagede untuk menjadi perajin perak," papar Sutojo.
Namun, sejak krisis moneter dan maraknya peledakan bom di Indonesia, industri kerajinan perak kian meredup. Bahkan, saat ini ratusan perajin perak terpaksa gulung tikar. Dari sekitar 2.000 perajin, 30 persen di antaranya beralih ke profesi lain seperti kusir andong, usaha warung, dan kuli bangunan. Perajin yang masih bertahan tidak lagi mengandalkan perak sebagai bahan baku kerajinan.
Sekitar 40 persen di antaranya memanfaatkan tembaga dan kuningan sebagai bahan baku alternatif. Keterpurukan kerajinan perak Kotagede itu diperparah oleh semakin minimnya minat generasi muda menggeluti usaha itu. Mereka lebih memilih bekerja di sektor yang dinilai praktis dan menjanjikan secara ekonomi, misalnya bekerja sebagai buruh pabrik ataupun pegawai negeri.
Perjalanan historis Kotagede sebagai sentra industri perak memang pernah mengalami masa kejayaan. Namun, saat ini kondisinya tengah terpuruk. Untuk mengembalikan masa kejayaan, sepertinya tidak mudah. Kontribusi dari semua pihak jelas dibutuhkan. Persoalannya, sampai saat ini belum ada langkah konkret untuk menyelamatkan sentra perak tersebut.(ONI/ENY)
Sumber: Kompas, Kamis, 24 Februari 2005